Jumat, 16 Maret 2012

Ketika Ibu Berbicara tentang Cinta


Terkadang memang kami merasa kehadirannya tidak pada waktu yang tepat. Dia yang terlalu banyak bertanya.. Namun tidaklah mudah bagi kami untuk menjawabnya, jika memang itu urusan hati.. Sering kami merasa ingin menyimpannya sendiri, ingin mengubur luka dalam- dalam. Kami tak ingin dia tahu, cukuplah kami yang menyimpannya..
Tetapi, entah.. dia cukup membuat kami merasa jengkel, risih dengan segala pertanyaannya. Merasa tak perlu terhadap segala saran yang dia berikan.. Kemudian beberapa saat kami diam, sesak. Mulailah kami berpikir cukup jauh. Dan kami menyadari, seseorang yang bagi kami terlalu banyak bertanya tentang kehidupan kami, dia seseorang yang selalu ingin mengetahui isi dari setiap sudut hati kami. Dia yang terlalu sering membuat larangan- larangan bagi kami. Dia yang tak henti- hentinya mencemaskan kami ketika kami jauh darinya, dia yang tak bisa menjangkau kami dari pandangannya, dia yang tak mampu memberikan pelukan ketika kami tergulai lemah.. Sungguh, kami baru menyadari itu.. Dan dialah ibu..
Ibu.
Ibu hanyalah berusaha memeluk ketakutan kami menjadi ketenangan. Itulah alasan mengapa ibu terlalu banyak bertanya, mendesak kami untuk bercerita. Dia hanya tak ingin kami merasakan luka sendiri. Tapi ibu, tahukah engkau mengapa kami terlalu sulit untuk bercerita ? Kami tak pernah berusaha untuk menyembunyikan semuanya dari ibu. Bukan. Bukan seperti itu maksud kami. Ya, mungkin memang benar, kami merasa ada batasan tertentu bagi kami untuk bercerita. Dan bagian tersulit kami untuk bercerita adalah tentang cinta. Maafkan kami, ibu. Sebagian dari kami hanya merasa bahwa kami malu. Mungkinkah kami cukup dewasa untuk bercerita tentang cinta kepada ibu. Kami hanya takut untuk ditertawakan.. Kami merasa kami belum pantas untuk itu, sehingga kami diam..
Maafkan kami ibu, mungkin kami terlalu sering datang ketika kami terluka. Itu semata- mata karena kami tak lagi cukup kuat menahan luka. Maafkan kami ibu, kami hanya mampu berbagi luka kepada ibu. Bahkan sering hati kami berucap, “Ibu, pinjami kami hati ibu sebentar saja, agar  kami bisa belajar keikhlasan seperti yang ada di dalamnya.”
Terkadang, kami tak pernah tahu bagaimana yg “baik” menurut ibu. Bahkan ketika kami menjabarkan tentang seseorang yang –menurut kami- sungguh sangat baik untuk kehidupan kami, tetapi ternyata tidak menurut ibu. Lantas, yang baik untuk kami itu yang seperti apa, ibu ?
Ibu.. terkadang kami telah mempunyai pilihan dalam hal cinta. Dan itupun tidak terlalu buruk untuk kami, bahkan terhadap ibu. Ya, ibu, ya kami tahu, yang baik bahkan terbaik menurut kami itu tak selalu baik menurut- Nya. Lantas, haruskah kami terus diam, menuruti semua yang ibu minta, bahkan dalam hal cinta ? Seperti itukah cara kami untuk membalas cintamu, ibu ? Tak bisakah kami sedikit merasakan bahagia karena cinta yang memang menjadi pilihan kami ? Kami tak pernah bermaksud untuk menentang ibu. Sungguh, bukan itu yang kami maksud.. Maaf ibu, maaf. Kami tahu, tak ada yang bisa membalas cintamu, dengan hal apapun itu.
Sungguh hal ini membuat kami ragu untuk melangkah, kami takut untuk mengambil langkah. Ya, bagai buah simalakama. Tak pernah ada sedikitpun niat kami untuk membangkang satu kata yg terucap dari mulut ibu sekalipun.. Tapi, haruskah kami mengorbankan perasaan kami ? Bukankah tak ada yg salah dengan cinta ? Ia muncul secara tiba- tiba dan tanpa diminta. Kami tak bisa mencegahnya, dan kami tak akan mampu untuk memunafiki hati.. Kami tahu, apa yang ibu lakukan dan semua yang ibu katakan pada kami semata- mata juga untuk kebaikan kami nantinya. Begitu mulianya engkau, ibu..
Ibu, tahukah engkau kami telah beranjak dewasa. Raga dan pikiran kami telah mampu untuk memilah- milah mana yang indah dan mana yang semu. Kami telah  mampu berlari melawan hujan untuk menemukan pelangi. Kami telah mampu membedekan mana yang nyata dan mana yang hanya fatamorgana.. Semua terjadi seiring langkahmu yang selalu mengiringi kami dalam perjalanan waktu, ibu.
Kami hanya berharap ibu mau mendengar pendapat kami tentang cinta. Bagaimana cinta itu di mata kami. Bagaimana cara kami ketika kami tengah berada di persimpangan. Jalan mana yang harus kami pilih, jalan mana yang harus kami tempuh. Terimakasih telah mengantarkan kami sampai pada sebuah persimpangan, kini izinkah kami untuk mulai belajar memilih segala yg terbaik untuk hidup kami. Tentunya dengan restu ibu pada setiap apa yg kami putuskan.. Tak ada sedikitpun niat kami untuk membangkang segala keinginan ibu. Kami hanya berusaha mendeskripsikan isi hati kami tentang cinta. Namun jika deskripsi kami tidak cukup baik dan tidak berkenan untuk ibu, dengan segala kerendahan hati, kami akan tetap berjalan dibelakangmu, ibu. Berjalan dengan segalanya yang ibu anggap “baik”..
Terimakasih ibu untuk mau mendengar, terimakasih ibu untuk segala “kebaikan” yang telah ibu rekomendasikan pada kami..
“Ibu, pinjami hatimu sebentar saja, agar aku bisa merasakan bahwa segala yang kau anggap baik adalah memang benar- benar baik untuk ku.”

Hanya sebuah untaian kata demi kata. Teruntuk mereka yang tengah dihadapkan pada sebuah pilihan. Teruntuk mereka yang cintanya pernah ,atau sedang terhalang oleh berbagai pertimbangan cinta seorang ibu..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar